ESDM: Kemiri Sunan Berpotensi Menjadi Biodiesel

Bandung – Selain dari kelapa sawit, bahan bakar biodiesel juga kemungkinan bisa dikembangkan dari tanaman lainnya, salah satunya kemiri sunan. Hanya saja perlu ada perlakuan khusus dengan ongkos yang lebih mahal dalam pengolahannya.
“Kemiri sunan cukup potensial untuk dikembangkan, saat ini kita sudah ada beberapa wilayah untuk ditanam,” kata Kasubdit Pelayanan dan pengawasan Usaha Bioenergi di Direktorat Bioenergi, Ditjen EBTKE, Kementerian ESDM Edi Wibowo dalam keterangan tertulis yang diterima Investor Daily, Jumat (5/1). Hal itu dikemukakannya di sela acara Roadshow Mandatori B20 keliling Jawa-Bali yang kali ini singgah di Bandung.
Diterangkan oleh Edi, saat ini Kementerian ESDM telah menanam tanaman kemiri sunan di lahan bekas tambang timah seluas 50 hektare di Bangka Belitung. “Di Brebes itu juga sudah ditanam, di situ kebun rakyat enggak dipakai. Jadi seperti tanah marjinal yang kemudian ditanami kemiri sunan yang di tengah-tengahnya ditanamai sereh, jadi tumpang sari modelnya. Di Kalimantan juga sudah kita kembangkan dan juga di NTT,” terangnya.
Sistem tumpang sari tersebut dilakukan untuk menunggu masa panen kemiri sunan yang butuh waktu lima sampai enam tahun. Kementerian ESDM sendiri mulai menggalakkan penanaman kemiri sunan sejak tahun 2014, sehingga baru akan bisa dipanen sekitar tahun 2019-2020.
Edi menerangkan, kemiri sunan yang bukan termasuk tanaman pangan karena buahnya pahit dan beracun ini bisa menghasilkan rendeman sekitar 50% sampai 70%. “Jadi dari 1.000 ton bisa menghasilkan sekitar 500 sampai 600 liter,” terangnya.
Namun Edi mengakui, kualitas biodiesel yang dihasilkan kemiri sunan masih di bawah yang berasal dari kelapa sawit karena itu perlu ada penelitian lanjutan terkait bahan baku kemiri sunan serta proses pengolahannya menjadi biodiesel. “Jadi kalau kemiri sunan tidak cocok untuk biodiesel, mungkin untuk bio avtur atau gasoline bisa juga,” tuturnya.
Pernyataan Edi Wibowo tersebut dibenarkan oleh Dadan Ramdani, Kepala Seksi Energi Baru Terbarukan Dinas ESDM Jawa Barat. Menurutnya proses pengolahan kemiri sunan untuk dijadikan biodiesel memang sedikit lebih rumit dan lebih panjang dibandingkan mengolahnya dari kelapa sawit. Ditambah lagi perlu ada rekayasa kimia dan fisika tambahan agar sifat-sifat minyak nabati yang dihasilkan dari kemiri sunan bisa mirip dengan standar SNI biodiesel.
“Tapi rekayasa di proses itu kan perlu biaya. Mungkin ke depan, rekayasanya bukan di prosesnya tapi di genetika. Dengan begitu, biaya proses (pengolahan di kilang biodiesel) nantinya tidak akan terlalu jauh dengan harga proses dari sawit,” beber Dadan yang memastikan bahwa biaya rekayasa di proses pengolahan kemiri sunan jauh lebih mahal dibanding rekayasa genetika kemiri sunan di hulu.
Dadan menambahkan pengembangan kemiri sunan untuk bahan bakar punya satu keunggulan, yaitu tanaman ini merupakan tanaman konservasi tidak seperti sawit yang tidak punya sifat mengkonservasi air. “Kemiri sunan itu mengkonservasi air, makanya ada program dari Kementerian ESDM yang memassalkan penanaman kemiri sunan di lahan bekas tambang,” jelasnya .
Kepala Laboratorium Motor Bakar dan Sistem Propulsi ITB Iman K. Reksowardojo menambahkan bahwa kemiri sunansebenarnya lebih cocok dikembangkan untuk bio avtur dan bio gasoline ketimbang untuk biodiesel. Di mana rantai hidrokarbonnya dari minyak nabati yang dihasilkan dari kemiri sunan lebih dekat ke bensin dan avtur, ketimbang solar. “Untuk biodiesel bisa dibuat (dari kemiri sunan), tapi terpaksa. Ini lebih cocok untuk bio gasoline dan bio avtur,” tegas Iman. 
Sumber : Berita Satu



Comments