Polemik Blok Masela

Polemik tentang Blok Migas Masela semakin sengit. Sebagian kalangan berkukuh kilang gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) Masela lebih menguntungkan jika dibangun di darat (onshore). Kalangan lain berkeras kilang LNG terbesar di dunia yang direncanakan berkapasitas 7,5 juta ton per tahun itu lebih bermanfaat jika dibangun terapung di laut (offshore).

Polemik Blok Masela bahkan meruyak di rapat terbatas (ratas) kabinet yang konon berlangsung ‘panas’ awal pekan ini. Pendapat para menteri ekonomi terbelah. Ada yang pro darat, ada pula yang pro laut. Karena polemik itu pula, Presiden Joko Widodo menunda keputusan tentang pembangunan  kilang LNG di Blok Masela yang berlokasi di lepas pantai Laut Arafura, Maluku dengan sisi selatan persis di perbatasan perairan Indonesia-Australia.

Sejujurnya, memutuskan mana yang paling ideal bagi Blok Masela --dibangun di darat atau di laut-- memang tidak mudah. Apalagi sejumlah kajian menunjukkan hasil yang berbeda. Ada yang merekomendasikan kilang LNG Masela dibangun di darat, ada pula yang menganjurkan supaya dibangun terapung di laut. Mungkin karena itulah, pemerintah sejak 2009 tak juga membuat keputusan.

Polemik Blok Masela mencuat setelah konsultan multinasional Poten & Partners yang ditunjuk pemerintah dengan bayaran Rp 3,8 miliar menyatakan kilang LNG Masela lebih murah apabila dibangun di laut daripada di Pulau Tanimbar atau Pulau Selaru (darat). Perbandingannya adalah US$ 14,8 miliar di laut, US$ 19,3 miliar di darat. Rekomendasi konsultan asing inilah yang digunakan Kementerian ESDM sebagai rujukan. Tapi hasil kajian Poten & Partners dipatahkan Kemenko Maritim dan Sumber Daya.

Berdasarkan hasil kajian tenaga ahli di kementerian tersebut, kilang LNG Masela justru lebih murah di darat ketimbang di laut. Perbandingannya US$ 16 miliar melawan US$ 23-26 miliar. Tak hanya lebih murah, kilang LNG Masela akan memberikan efek pengganda (multiplier effect) dan nilai tambah ekonomi luar biasa besar bagi rakyat setempat jika dibangun di darat.

Atas dua hasil kajian yang berbeda itu, pemerintah memang mesti hati-hati. Harus ditimbang betul, mana skema paling ekonomis dengan risiko terkecil. Sebab, pemerintah bukan hanya akan dimintai pertanggungjawaban secara hukum, tapi juga harus bertanggung jawab secara moril kepada 250 juta rakyat Indonesia --khususnya masyarakat Maluku-- bila salah mengambil keputusan.

Hati-hati perlu, namun tak berarti pemerintah boleh menunda-nunda terus keputusan tentang Blok Masela. Semakin berlarut-larut pemerintah mengambil keputusan, semakin berkurang pula nilai tambah ekonomi blok migas tersebut karena masa eksploitasinya kian pendek dengan risiko biaya yang meningkat. Di sinilah perlunya pemerintah mengambil keputusan secara cepat, tepat, dan bijak.

Memilih skema paling ideal bagi kilang LNG di Blok Masela sejatinya relatif simpel. Pemerintah hanya perlu memastikan skema mana yang bakal mendatangkan manfaat paling banyak bagi masyarakat sekitar, negara, dan rakyat Indonesia secara keseluruhan dalam jangka panjang, terutama dari sisi nilai tambah ekonomi, penerimaan negara, dan ketahanan energi nasional.

Bahwa besarnya biaya pembangunan kilang harus menjadi pertimbangan, kita setuju. Tapi biaya bukan segala-galanya. Jika memberikan nilai tambah atau manfaat ekonomi jauh lebih besar kepada rakyat dan negara dalam jangka panjang, di mana pun kilang itu dibangun, sekalipun biayanya lebih besar, pemerintah harus memilihnya. Apalagi jika biayanya ternyata lebih kecil.

Jangan lupa, Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Berlandaskan konstitusi ini, pemerintah wajib memilih skema yang paling menguntungkan rakyat. Dengan kata lain, kepentingan rakyat harus menjadi dasar pertimbangan pemerintah.

Kita bersyukur Presiden Jokowi telah secara tegas menyatakan pengembangan Blok Masela harus sesuai amanat konstitusi, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan untuk segelintir orang, bukan pula untuk sekelompok orang. Jika ini yang menjadi dasar pengambilan keputusan, berarti pemerintah harus membangun kilang LNG Masela di darat.

Jika kilang LNG Masela dibangun di darat, ekonomi Maluku, terutama Pulau Tanimbar, Selaru, atau pulau lain di sekitarnya akan tumbuh pesat. Masyarakat setempat bakal sejahtera karena di sekitar kilang bermunculan pusat-pusat ekonomi baru. Industri manufaktur akan tumbuh subur karena mendapat pasokan gas lebih murah dan terjamin. Angka kemiskinan dan pengangguran berkurang. Pemerataan ekonomi dan pembangunan dapat terwujud.

Keputusan tentang Blok Masela juga harus dijadikan momentum untuk memperkuat ketahanan energi nasional. Sejak Republik ini berdiri, gas yang dihasilkan dari perut Ibu Pertiwi hampir seluruhnya diekspor demi memenuhi target penerimaan negara. Indonesia selama beberapa dekade bahkan pernah dikenal sebagai salah satu eksportir LNG terbesar di dunia.

Akibatnya, pasokan gas bagi industry di dalam negeri --untuk bahan baku dan energi--terabaikan. Kelak, jangan ada lagi cerita industry manufaktur nasional kalah bersaing karena kekurangan gas atau mendapatkan gas dengan harga lebih mahal. Jangan pula ada kisah industri di dalam negeri gulung tikar gara-gara tidak mendapat pasokan gas. Pemeo bahwa industry manufaktur Indonesia tak ubahnya ayam mati di lumbung padi sungguh menyakitkan. (*)\

Sumber : Investor Daily



Comments