Inilah Penyebab 99% Energi Terbarukan Terbengkalai

(gambar : www.nora-arnezeder.net)


Jakarta - Indonesia kaya akan sumber energi baru terbarukan (EBT), mulai dari panas bumi, air, angin, surya, biomassa, laut. Menurut data Kementerian ESDM, potensi EBT Indonesia mencapai 810 Gigawatt (GW) alias 810.000 MW. Sebagai pembanding, kapasitas seluruh pembangkit listrik di Indonesia saat ini 55.000 MW.

Tapi dari potensi EBT sebesar itu, baru 8,78 GW atau 8.780 MW yang sudah dimanfaatkan, hanya sekitar 1% dari total potensi. Sisanya 99% potensi EBT masih terabaikan.

Demikian diungkapkan Direktur Aneka Energi Terbarukan Kementerian ESDM, Maritje Hutapea, dalam diskusi 'Towards Energy Sector Transformation' yang diselenggarakan Universitas Pertamina di Gedung Patra Jasa, Jakarta, Rabu (30/11/2016).

"Panas bumi kita punya potensi 29 GW, air 75 GW, angin, surya, samudera, cukup banyak. Secara total ada sekitar 810 GW. Yang kita gunakan baru sekitar 1%," kata Maritje.

Porsi EBT dalam bauran energi nasional pun masih sangat minim. 94% sumber energi yang digunakan Indonesia sekarang adalah energi fosil yang tidak terbarukan seperti minyak bumi, gas bumi, dan batu bara. Hanya 6% yang berasal dari EBT.

Padahal Indonesia bukan negara yang kaya akan energi fosil. Cadangan minyak bumi Indonesia misalnya, tinggal 3,6 miliar barel, diperkirakan akan habis dalam waktu 15 tahun lagi. Mulai 2019 nanti, Indonesia juga sudah menjadi importir gas.

Mengapa potensi EBT Indonesia yang begitu besar terbengkalai?

Maritje berpendapat bahwa ironi ini merupakan akibat kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) di masa lalu. Selama puluhan tahun, rakyat dimanjakan dengan subsidi hingga ratusan triliun rupiah sehingga terbentuk persepsi bahwa energi fosil itu murah.

Harga EBT menjadi terkesan mahal karena tidak disubsidi. Maka EBT terabaikan, masyarakat lebih memilih menggunakan energi fosil yang 'murah' karena disubsidi.

"Kita kan cukup lama energi kita disubsidi, cukup lama. Ratusan triliun per tahun untuk subsidi energi sehingga masyarakat menganggap energi itu murah. Ketika bicara EBT, biaya produksinya tinggi dan nggak pernah disubsidi. Kalau EBT disubsidi, saya yakin bisa bersaing dengan energi fosil," paparnya.

Tapi kini pemerintah mulai melakukan reformasi di sektor energi. Subsidi BBM dihapus, pengembangan EBT mulai digalakan.

"(Subsidi) Sudah mendarah daging, puluhan tahun. Tapi sekarang kita sudah mulai beralih, subsidi sudah dicabut. Yang penting keberanian, komitmen, dan konsistensi pemerintah," tegasnya.

Kementerian ESDM pun membuat regulasi-regulasi agar pengembangan EBT menjadi bisnis yang menarik. Feed in Tariff dibuat agar investor yang mengembangkan EBT bisa memperoleh keuntungan layak.

"Pemerintah sekarang membuat Feed in Tariff. Misalnya ketika kita bangun PLTA, PLTP, ada investor masuk, kita kasih Feed in Tariff. Dengan tarif itu pengusaha merasa nyaman, modalnya bisa kembali dalam kurun waktu tertentu. Itu diarahkan supaya proyek-proyek EBT bisa bankable," ujar Maritje.

Pihaknya berharap pengembangan EBT bisa dikebut hingga mencapai 23% dalam bauran energi nasional di 2025.

"Tahun 2025, energi fosil harus kurang dari 77%. EBT minimal 23% di 2025. Kita sedang menuju transformasi ke energi yang berkelanjutan," tutupnya. (detik)

Comments