Inilah syarat EBT bisa dikembangkan dengan harga murah


Menteri ESDM, Ignasius Jonan, ingin Feed in Tariff atau harga listrik yang dihasilkan energi baru terbarukan (EBT) terjangkau. Menurut Jonan, harga yang tinggi bukan langkah tepat untuk pengembangan EBT.

EBT memang harus dikembangkan karena cadangan energi fosil (minyak, gas, batu bara) yang makin menipis dan kebutuhan masyarakat pada energi yang ramah lingkungan. Tapi, Jonan menegaskan, EBT juga harus terjangkau masyarakat dan biaya produksinya harus efisien.




Pertanyaannya, Bisakah EBT dikembangkan dengan harga murah? 

Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Rida Mulyana, menjelaskan pengembangan EBT tetap bisa dikebut tanpa penetapan tarif listrik EBT yang tinggi. Tapi harus ada kebijakan-kebijakan lain yang membuat investor tertarik masuk ke bisnis EBT. 

Rida mencontohkan, pengembangan EBT di Uni Emirat Arab (UEA). Negara di kawasan Timur Tengah itu belum lama mengembangkan EBT. Tapi mereka sudah bisa membuat pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang mampu menghasilkan listrik dengan harga hanya US$ 2,99 sen/kWh atau sekitar Rp 390/kWh. 

Pengembangan EBT didukung pemerintah UEA dengan berbagai insentif, fasilitas, dan kemudahan. Insentif, perizinan yang sederhana, dan kemudahan-kemudahan lainnya membuat EBT bisa berkembang dengan harga relatif murah, bersaing dengan energi fosil.

"Bisa saja (mengembangkan EBT dengan harga efisien) kalau intervensi pemerintahnya kental. UEA kan juga baru mengembangkan EBT," kata Rida kepada detikFinance di Jakarta, Jumat (23/12/2016).

Harga EBT di UEA pun semakin murah di masa mendatang. Sekarang mereka sedang bersiap-siap membangun PLTS dengan kapasitas lebih besar dan biaya produksi listrik yang lebih murah lagi. Begitu EBT berkembang, harganya memang akan semakin murah. Maka pengembangan EBT di tahap awal sangat krusial, pemerintah harus membuat kebijakan yang tepat. 

"Dia (UEA) baru bangun PLTS 150 MW. Dia memprediksi pada 2019 itu harga capex-nya turun karena harga teknologinya turun terus," Rida menuturkan.

Beberapa negara lainnya, misalnya Jepang, menempuh jalan lain untuk mengembangkan potensi EBT yang dimilikinya. Jepang membuat tarif yang tinggi untuk EBT agar investor tertarik dulu. Nantinya setelah EBT semakin masif, harganya akan semakin turun.

"Di Jepang sampai sekarang PLTS masih US$ 20 sen/kWh, awalnya US$ 42 sen/kWh. Mereka menerapkan Feed in Tariff. Masuk dulu, penetrasi dulu. Konsekuensinya ditanggung pemerintah," ungkap Rida. 

Apapun cara yang dipilih, apakah dengan penetapan tarif yang tinggi, pembebasan pajak, atau kemudahan lainnya, pada intinya EBT membutuhkan intervensi dari pemerintah agar dapat berkembang. (detik)

Comments