Di UEA, PLTS bisa memproduksi listrik dengan harga hanya US$ 2,99 sen/kWh alias Rp 390/kWh. Sedangkan di Indonesia, Feed in Tariff untuk PLTS mencapai US$ 15 sen/kWh atau sekitar Rp 2.000/kWh.
Sebagai pembanding, biaya pokok produksi (BPP) listrik di Indonesia saat ini sekitar Rp 1.352/kWh. Sumber energi yang paling banyak digunakan untuk kelistrikan adalah batu bara. Harga listrik dari batu bara sekitar Rp 800/kWh. Artinya, biaya produksi listrik dari tenaga surya di UEA bahkan jauh lebih murah ketimbang listrik batu bara di Indonesia.
PLTS di Uni Emirat Arab (Ecopedia.com) |
"Itu bukan magic number, kami akan cari tahu itu. Sepengetahuan saya, dan kemudian itu yang akan kita klarifikasi saat kunjungan ke sana, tanahnya itu disediakan atau digratiskan pemerintah. Sangat mungkin," kata Rida kepada detikFinance di Jakarta, Jumat (23/12/2016).
Menurut analisis Rida, penyebab lainnya ialah di UEA tidak ada aturan soal Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) minimum untuk pembangunan PLTS. Investor boleh saja menggunakan 100% komponen impor untuk PLTS.
Berbeda dengan Indonesia yang mewajibkan penggunaan produk-produk dalam negeri dalam tingkat tertentu.
"Di sana nggak ada aturan TKDN. Jadi impor yang paling murah saja. Sangat longgar, nggak ada urusan TKDN. Itu yang saya dengar," ucapnya.
Selain itu, bunga kredit di UEA rendah. Ini membuat investasi untuk pembangunan PLTS bisa balik modal lebih cepat.
"Bunga bank-nya tidak besar. Itu sangat menentukan dalam hal keekonomian, dalam hal ini capex-nya (capital expenditure/biaya investasi)," papar Rida.
Lalu soal insentif untuk pembangunan PLTS, kemungkinan pemerintah UEA memberikan fasilitas pembebasan pajak. Perizinan untuk membangunnya juga dibuat praktis.
"Pajaknya juga dibebaskan. Perizinan dimudahkan, jadi nyaris nggak ada cost-nya," pungkasnya. (detik)
Comments
Post a Comment